Definisi Shahîh
Secara bahasa (etimologi), kata ﺢﻴﺤﺼﻟﺍ (sehat) adalah antonim dari kata ﻢﻴﻘﺴﻟﺍ (sakit). Bila diungkapkan terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya (haqiqi) tetapi bila diungkapkan di dalam hadits dan pengertian-pengertian lainnya, maka maknanya hanya bersifat kiasan (majaz).
Secara istilah (terminologi), maknanya adalah:
Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit)
Penjelasan Definisi
- Sanad bersambung : Bahwa setiap rangkaian dari para periwayatnya telah mengambil periwayatan itu secara langsung dari periwayat di atasnya (sebelumnya) dari permulaan sanad hingga akhirnya.
- Periwayat Yang ‘Adil : Bahwa setiap rangkaian dari para periwayatnya memiliki kriteria seorang Muslim, baligh, berakal, tidak fasiq dan juga tidak cacat maruah (harga diri)nya.
- Periwayat Yang Dlâbith : Bahwa setiap rangkaian dari para periwayatnya adalah orang-orang yang hafalannya mantap/kuat (bukan pelupa), baik mantap hafalan di kepala ataupun mantap di dalam tulisan (kitab)
- Tanpa Syudzûdz : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits kategori Syâdz (hadits yang diriwayatkan seorang Tsiqah bertentangan dengan riwayat orang yang lebih Tsiqah darinya)
- Tanpa ‘illat : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits kategori Ma’lûl (yang ada ‘illatnya). Makna ‘Illat adalah suatu sebab yang tidak jelas/samar, tersembunyi yang mencoreng keshahihan suatu hadits sekalipun secara lahirnya kelihatan terhindar darinya.
Untuk lebih mendekatkan kepada pemahaman definisi hadits Shahîh, ada baiknya kami berikan sebuah contoh untuk itu.
Yaitu, hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitabnya Shahîh al-Bukhâriy, dia berkata: (‘Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, dia berkata, Malik memberitakan kepada kami, dari Ibn Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya, dia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam telah membaca surat ath-Thûr pada shalat Maghrib)
Hadits ini dinilai Shahîh karena:
• Sanadnya bersambung, sebab masing-masing dari rangkaian para periwayatnya mendengar dari syaikhnya. Sedangkan penggunaan lafazh ﻦﻋ (dari) oleh Malik, Ibn Syihab dan Ibn Jubair termasuk mengindikasikan ketersambungannya karena mereka itu bukan periwayat-periwayat yang digolongkan sebagai Mudallis (periwayat yang suka mengaburkan riwayat).
• Para periwayatnya dikenal sebagai orang-orang yang ‘Adil dan Dlâbith. Berikut data-data tentang sifat mereka itu sebagaimana yang dinyatakan oleh ulama al-Jarh wa at-Ta’dîl : ‘Abdullah bin Yusuf : Tsiqah Mutqin. Malik bin Anas : Imâm Hâfizh. Ibn Syihab : Faqîh, Hâfizh disepakati keagungan dan ketekunan mereka berdua. Muhammad bin Jubair : Tsiqah. Jubair bin Muth’im : Seorang shahabat
• Tidak terdapatnya kejanggalan (Syudzûdz) sebab tidak ada riwayat yang lebih kuat darinya.
• Tidak terdapatnya ‘Illat apapun.
Hadist Hasan Definisi
Secara etimologi, hasan merupakan sifat musytabihat dari kata al-husnu yang mempunyai makna al-jamal (bagus/elok/cantik)[24] atau dapat diartikan sebagai sesuatu yang disukai oleh hati.[25]
Mengenai definisi hadits hasan secara terminologi, para ulama terjadi perbedaan pendapat. Hal itu disebabkan karena posisi hadits hasan yang berada diantara hadits shohih dan dloif. Imam al-Khuthobi mendefinisikannya sebagai hadits yang diketahui tempat keluarnya dan terkenal para rawinya. Imam al-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits hasan adalah setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh dusta, tidak terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits tersebut diriwayatkan tidak dari satu jalur (mempunyai banyak jalur) yang sepadan maknanya.[26] Sedangkan mayoritas ahli hadits menta'rif hadits hasan sebagai:
مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ قَلِيْلُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلِّلٍ وَلَا شَاذٍّ.
"Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil tapi tidak begitu kokoh ingatannya, bersambung sanadnya, tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya."
2. Klasifikasi Hadits Hasan
Hadits hasan terbagi menjadi dua:
a. Hasan Lidzatihi
Yaitu hadits yang sanadnya bersambung dengan dinukil dari orang adil yang kadlabitannya dibawah derajat perawi hadits shahih serta tidak terdapat kejanggalan dan cacat dalam matannya.[27] Dari keterangan di atas dapat disimpulakan bahwa uraian yang telah disampaikan oleh para muhaddtsin tentang hadits hasan adalah hadits hasan lidzatihi. Kesimpulannya ketika suatu hadits itu dikatakan sebgai hadits hasan, maka yang dimaksud adalah hasan lidzatihi.
Syarat-syarat hadits hasan:
1) Sanadnya bersambung
2) Para rawinya adil
3) Para rawinya dlabith. Maksudnya derajat kedlabitannya dibawah rawi hadits shahih
4) Tidak terdapat syudzudz (kejanggalan dalam matan)
5) Tidak terdapat illat (cacat dalam matan).
Contoh Hadits Hasan:
تحفة الأحوذي - (ج 4 / ص 335)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِيُّ عَنْ أَبِي عِمْرَانَ الْجَوْنِيِّ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ قَال سَمِعْتُ أَبِي بِحَضْرَةِ الْعَدُوِّ يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلَالِ السُّيُوفِ....
Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits itu adalah hadits hasan lagi asing. Hadits tersebut dikatakan sebagai hadits hasan karena para rawi hadits tersebut adalah tsiqat, kecuali Ja'far bin Sulaiman al-Dluba'i. Para Ahli al-Jarhi wa Ta'dil berselisih tentang ketsiqahan dan kedloifan Ja'far bin Sulaiman al-Dluba'i[28]. Oleh karena itu hadits tersebut turun derajatnya dari shohih menjadi hasan.
b. Hasan Lighairihi
Hadits hasan lighairih adalah hadits dloif yang jalurnya banyak (sanadnya dari berbagai jalur) dan sebab kedlaifannya bukan karena kefasikan atau kedustaan seorang rawi. Dari definisi ini dapat diambil suatu kesimpulan bahwa hadits dloif bisa naik derajatnya menjadi hadits hasan lighairihi dengan dua hal:
1) Hadits tersebut diriwayatkan dari jalur lain, baik kualitas sama atau lebih kuat.
2) Kedloifan hadits tersebut adakalanya disebabkan karena; buruknya hafalan rawi, terputusnya sanad atau rawinya tidak diketahui biografinya.
Contoh hadits hasan lighairihi:
تحفة الأحوذي - (ج 2 / ص 68)
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَغْتَسِلُوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلْيَمَسَّ أَحَدُهُمْ مِنْ طِيبِ أَهْلِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَالْمَاءُ لَهُ طِيبٌ.
"Merupakan suatu hak bagi orang-orang muslim untuk mandi di hari Jum'at. Hendaklah salah seorang diantara mereka mengusapkan wangi-wangian keluarganya, jika ia tidak memperoleh, airpun cukup menjadi wangi-wangian."
Hadis ini dikatakan sebagi hadits dloif, karena pada rawinya terdapat Ismail bin Ibrahim al-Taimi yang didloifkan oleh para ahli hadits. Akan tetapi hadits ini naik derajatnya menjadi hasan lighairihi karena selain dari jalur Ismail bin Ibrahim al-Taimi, ternyata juga terdapat jalur lain yang berasal dari Ahmad bin Manba' lalu Husyaim, dari Yazid bin Abi Ziyad. Selain itu hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui Husyaim, dari Yazid bin Ziyad. Kemudian hadits senada tentang kesunahan memakai wangi-wangian juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan Abu Dawud.
Berikut adalah hadits-hadits pendukung terahadap hadits Ismail bin Ibrahim al-Taimi.
تحفة الأحوذي - (ج 2 / ص 68)
قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَشَيْخٍ مِنْ الْأَنْصَارِ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ الْبَرَاءِ حَدِيثٌ حَسَنٌ وَرِوَايَةُ هُشَيْمٍ أَحْسَنُ مِنْ رِوَايَةِ إِسْمَعِيلَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ وَإِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ يُضَعَّفُ فِي الْحَدِيثِ.
مسند أحمد - (ج 37 / ص 444)
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ الْحَقِّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَغْتَسِلَ أَحَدُهُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَأَنْ يَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَ أَهْلِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُمْ طِيبٌ فَإِنَّ الْمَاءَ أَطْيَبُ.
صحيح البخاري - (ج 3 / ص 394)
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا حَرَمِيُّ بْنُ عُمَارَةَ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي بَكرِ بْنِ الْمُنكَدِرِ قَالَ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ سُلَيْمٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَشْهَدُ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ قَالَ
أَشْهَدُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَأَنْ يَسْتَنَّ وَأَنْ يَمَسَّ طِيبًا إِنْ وَجَدَ
صحيح مسلم - (ج 4 / ص 313)
و حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ سَوَّادٍ الْعَامِرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ أَبِي هِلَالٍ وَبُكَيْرَ بْنَ الْأَشَجِّ حَدَّثَاهُ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَسِوَاكٌ وَيَمَسُّ مِنْ الطِّيبِ مَا قَدَرَ عَلَيْهِ
إِلَّا أَنَّ بُكَيْرًا لَمْ يَذْكُرْ عَبْدَ الرَّحْمَنِ وَقَالَ فِي الطِّيبِ وَلَوْ مِنْ طِيبِ الْمَرْأَةِ.
سنن أبى داود - (ج 1 / ص 420)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ الْمُرَادِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ أَبِي هِلَالٍ وَبُكَيْرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَشَجِّ حَدَّثَاهُ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَالسِّوَاكُ وَيَمَسُّ مِنْ الطِّيبِ مَا قُدِّرَ لَهُ
إِلَّا أَنَّ بُكَيْرًا لَمْ يَذْكُرْ عَبْدَ الرَّحْمَنِ وَقَالَ فِي الطِّيبِ وَلَوْ مِنْ طِيبِ الْمَرْأَةِ.
Dengan demikian hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari jalur Abu Yahya Isma'il bin Ibrahim yang dloif itu naik derjatnya menjadi hasan lighairihi. Karena kadloifannya telah diangkat oleh muttabi', yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi sendiri dan Imam Ahmad dan diangkat pula oleh syahid, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim dan Abu Dawud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar